Negeri Moloku KieRaha (Part 2)
23 September
2011
Pada hari
ini saya menempuh perjalanan dari Ternate menuju Morotai dengan menggunakan
pesawat ekspress air mendarat di Galela, lalu mewati Tobelo (Kota dari
Kabupaten Halmahera Utara) menggunakan speedboat menyebrang menuju Daruba (Kota
dari Kabupaten P. Morotai). Perjalanan menuju Galela cukup menarik, karena dari
atas pesawat bisa melihat hutan, laut dan Danau yang indah, entah Danau apa
namanya, berdekatan dua Danau sekaligus. Pesawat ekspress air yang mengantarkan
saya memiliki kapasaitas penumpang sekitar 30 orang. Sesampainya di Galela
mendarat di Bandar Udara Gamar Malamo, bagasi dari atas pesawat diangkut
menggunakan gerobak.
Suasana di Bandara Gamar Malamo |
Hibualamo, dan Miniatur Kantor Bupati Halu |
Dari Galela menuju Tobelo, masyarakat Tobelo memiliki suatu filosofi yaitu Hibualamo
memiliki makna universal yakni sebagai pusat kekerabatan tanpa membedakan
asal-usul seseorang selama ia menerima nilai-nilai budaya masyarakat Hibualamo.
Ciri khas arsitektur Hibualamo adalah berbentuk delapan sudut dengan pintu
masuk mengarah ke empat mata angin, melambangkan keterbukaan kepada siapa saja
yang datang, Bupati Halmahera Utara saat ini membangkitkan kembali agar budaya
Hibualamo bisa kembali dihidupkan. Di kota Tobelo juga ada bentor seperti di
Tidore.
Morotai
Morotai merupakan pulau yang
terletak di utara dari Pulau Halmahera, menuju Morotai bisa menggunakan pesawat
dari Ternate, naik speed dari Ternate maupun dari Tobelo. Kabupaten baru
pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara, ibukota dari Kabupaten P.Morotai
yaitu Daruba. Morotai memiliki banyak peninggalan sejarah karena merupakan Lokasi
Geopolitik strategis pada PD II, juga merupakan pangkalan tentara Jepang
1942-1944 dan pangkalan sekutu 1944-1945 dibawah Jenderal Douglas MacArthur. Saya
tidak dapat membayangkan bagaimana Morotai pada tahun 1942-1945, kapal-kapal
perang sekutu berlabuh, pesawat perang yang mondar-mandir, ramainya tentara
pada saat itu, rasanya Morotai saat itu lebih terang dan lebih ramai daripada
saat ini. Menurut cerita masyarakat Morotai saat ini yang diceritakan oleh
orang tua mereka, pada zaman itu, para tentara sekutu sering membagi-bagikan
makanan kepada masyarakat setempat, MacArthur walaupun hanya beberapa kali di
Morotai sangat dekat dengan masyarakat setempat, ia juga pernah berjemur
bersama-sama dengan masyarakat setempat, sehingga sampai saat ini MacArthur
masih memiliki tempat di hati masyarakat Morotai, beberapa ada juga yang memajang
foto MacArthur di rumah.
Suasana pasar malam di Morotai |
sesampainya di Morotai, sedang ada pasar malam, begitu meiah dan ramai, ibu-ibu terlihat antusias untuk mengikuti salah satu permainan yang hadiahnya ada detergent, sabun dll. tanpa tidak sengaja mereka yang membawa anaknya ikut serta, telah mengajarkan kepada anaknya permainan tersebut, dengan uang seribu rupiah mereka berharap untuk mendapatkan hadiah yang harganya lebih tinggi. para pedagang dan arena mainan yang ada di pasar malam sebagian besar berasal dari jawa, mereka berpindah-pindah dari kota satu ke kota lainnya.
24 September 2011
Museum mini dan koleksinya |
Hari ini saya mengunjungi beberapa tempat peninggalan sejarah di Pulau Morotai dan kenal dengan seorang anak muda yang peduli dengan sejarah Morotai ; Muhlis Isso dan rekan-rekannya
merupakan sekelompok anak muda yang peduli dengan sejarah Morotai, mereka
membuat museum mini dengan koleksi yaitu benda-benda peninggalan Perang Dunia
II (PD II) antara lain, botol-botol lampu, tampat makan dari kaleng, klip
lampu, koin-koin, selongsong meriam, bantalan landasan pesawat yang terbuat
dari besi baja, dan lain sebagainya. Saat itu saya sempat juga bertemu dengan
anak muda lainnya yang suka menjual
benda-benda peninggalan perang, ia menawarkan kalung nama tentara sekutu dengan
harga sekitar 2 juta.
Muhlis dan rekannya sering masuk
keluar hutan untuk mengumpulkan benda-benda tersebut. Terkadang benda-benda
tersebut tertimbun di dalam tanah, sehingga perlu ketajaman spiritual juga
untuk menentukan tanah mana yang bisa di gali untuk menemukan benda-benda
tersebut.
Bantalan landasan pesawat, peluru, klip lampu |
Pasar Inpres Morotai |
Pasar di Morotai banyak menjual
ikan asap, gula aren yang dibungkus dengan daun aren putih, harga komoditi disbanding
dengan Jakarta, jauh lebih mahal, untuk telu 30 butir seharga Rp.42rb, minyak
sekilo 13rb, kol per kg Rp.12 ribu, bawang merah 30rb per kg. untuk cabai, tomat dijual per tumpuk, gula aren dan ikan asap i merupakan oleh-oleh yang khas Morotai.
Sisa-sisa peninggalan di Morotai
seperti pangkalan laut dan landasan pesawat pun masih ada sampai sekarang, saya
begitu terkagum melihat kekuatan pangkalan laut (army dock) peninggalan sekutu,
masih ada tembok beton tempat kapal besandar, walaupun kondisinya sudah hancur.
Pangkalan udara pada jaman PD II yang 7 strips pun masih bisa dikunjungi, salah
satunya dijadikan bandara yang termasuk dalam kawasan pangkalan udara Angkatan
Udara RI saat ini. Selain itu saya juga mengujungi pulau Zum-Zum dimana
dilokasi ini dibangun monument untuk mengenang MacArthur.
Foto Army Dock Dahulu dan sekarang |
Monumen di P.Zum-Zum dan Landasan dulu dan skrg |
saya berkesempatan mengunjungi Pulau sekitarnya. Pualau Ngele-ngele
dimana terdapat perusahaan yang membudidayakan ikan kerapu yang ikannya
bisa mencapai berat 100kg, hasilnya untuk komoditi ekspor, selain kerapu
juga terdapat budidaya mutiara.
P. Koloray, Kerapu P. Ngele-ngele, P.dodola besar, Sunset di Daruba |
Mengolah Bia, Bom lingkar, anak-anak P.Galo-galo, Koloray |
Pulau Koloray yang berpenghuni dengan mata pencaharian nelayan, pencari teripang serta budidaya rumput laut, di pulau ini hampir setiap rumah terdapat solar cell untuk pasokan listriknya. selain itu juga terdapat Pulau Dodola yang begitu indah, pulau ini tidak berpenghuni, biasa dijadikan tempat piknik warga sekitar pulau, dodola sendiri terdapat Pulau Dodola kecil dan Dodola besar, dimana saat surut kedua pulau ini menyatu dan dipisahkan oleh hamparan pasir putih yang begitu luas dna indah, namun disaat pasang kedua Dodola menjadi dipisahkan oleh pasangnya air. terakhir saya mengunjungi Pulau Galo-galo yang juga berpenghuni, disini saya menyaksikan bom lingkar yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk tungku memasak, juga menyaksikan salah seorang warganya memasak bia rebus lalu mereka bersama-sama mengeluarkan bia dari cangkangnya, biasa di jual per cupak beras seharga Rp.5.000.
P. Dodola kecil dilihat dari P. Dodola besar saat air mulai pasang |
Komentar